photo '..from NoWhere to SomeWhere..' by ak
..karena belajar adalah kewajiban dan kebutuhan seumur hidup.. ...karena kebaikan adalah energi + yang tak lekang oleh waktu...

Sabtu, 22 Desember 2007

Etos Kerja Bangsa Indonesia Rendah ?

Cukup jamak didengar bahwa salah satu penyebab keterbelakangan ekonomi Indonesia adalah karena etos kerja masyarakat yang rendah. Apalagi bila dibandingkan dengan etos kerja masyarakat Asia-timur (Jepang, Cina, Korea) , Eropa dan Amerika.
Saya agak kwatir ketika kita bicara etos kerja , dan sedikit banyak menyimpulkan etos kerja bangsa Indonesia itu rendah, maka puluhan juta orang akan semakin sedih dan (atau) jangan2 marah. Point saya benarkah etos kerja bangsa Indonesia rendah ? Apakah keterpurukan (kemiskinan/kebodohan/keterbelakangan) mereka disebabkan oleh etos kerja yang rendah..
Saya menduga kok tidak.

Di Jawa/madura (dan saya kira di pulau2 lain juga) sudah biasa kita tahu para petani/nelayan tradisional sejak sebelum subuh sudah beraktifitas. Juga para pedagang kecil-menengah di pasar2 tradisional, sejak pagi2 buta pasar sudah rame.
Yang di laut juga begitu, petang/malam atau subuh mereka sudah melaut, dibantu istri menyiapkan segalanya, baru pagi atau siang kembali ke pantai, dengan atau tanpa hasil (ngenes kalo liat -- krn saya orang pesisir).
Sedang para istri mereka coba membantu dengan usaha kecil2an, yang bisa untung 10ribu sehari saja sudah sangat disyukuri.


Para pekerja pabrik atau pegawai menengah-bawah juga begitu. Dari pagi sampai malam berjuang untuk memperoleh sekedar tambahan OT yg bisa2 sangat rendah.
Para pekerja sektor informal lebih berbau 'pejuang' lagi. Tanpa bantuan siapa2, tanpa fasilitas apa2, keleleran di depan toko dan pinggir jalan, dioprak2 tramtib, masih bisa bertahan dan menghidupi keluarga.
dst..

Nha dengan cerita seperti itu, tidak faktual rasanya kalo dibilang etos kerja bangsa Indonesia rendah.
Lalu dari mana datangnya keterbelakangan itu?
Saya kira jawabannya : system-lah yg membuat mereka seperti itu.
System Politik-Ekonomi, system birokrat, system pendidikan, system distribusi peluang, dst.. dsb...
Belum lagi penyakit yang sudah kanker stadium-3 : KKN. Malah bisa jadi inilah yg paling mendasar.

Bukan bermaksud melulu menyalahkan pemerintah, tapi semua lapis masyarakat mgkin punya prosentase sumbangan sendiri2, termasuk untuk memperbaikinya.

Bagaimana menurut Anda ?

6 komentar:

aZues mengatakan...

..bravo!! bangsa Indonesia,
so.. bapak Khalis yg terhormat...mustinya..gak ada lagi pertanyaan yg seperti ini... musti nya kita punya tag "We are a great people about ethos of work".. insyaAllah..., terus pak... menulis,aku pingin belajar... :)

AK Tontowi mengatakan...

Bravo juga! itulah tujuannya, get a same wonderful spirit. Thanks the honor mr.Azues, atas idenya. yook sama2 menulis, yook sama2 belajar

Anonim mengatakan...

Saya pernah memiliki client suatu instansi pemerintah. Seorang pejabatnya bercerita tentang kawannya, seorang pengusaha Korea yang membuka pabrik pembuatan manekin di kota kecil di Jawa Barat yang mayoritas penduduknya adalah petani.

Pabrik juga bekerja sama dengan industri lokal yang menyediakan rambut sebagai salah satu bahan dasar. Hari pertama, industri lokal memasok berkarung-karung rambut sesuai dengan perjanjian. Hari kedua masih sama. Hari ketiga, berat karung masih sesuai. Namun ketika dibuka, rambut telah bercampur dengan pasir, pecahan genting, dst.

Seluruh buruh perusahaan (blue collar) merupakan penduduk lokal. Dalam 1 harinya, seorang buruh dapat menghasilkan _maksimal_ 1 unit manekin.

Ketika musim panen tiba, para buruh beramai-ramai memanen sawahnya dan berhenti bekerja di pabrik. Setelah hasil panen habis, para buruh beramai-ramai kembali bekerja di pabrik.

Sembilan bulan kemudian, pabrik tutup dan pemilik memutuskan untuk membuka pabrik serupa di Cina.

Selang beberapa bulan kemudian pemilik pabrik kembali bertemu dengan sang pejabat. Dia bercerita tentang produktivitas penduduk Cina yang bayarannya hampir sama dengan penduduk Indonesia, namun seharinya dapat menghasilkan antara 2-3 unit barang. Sampai saat ini pabriknya masih berdiri. Sang pejabat terdiam seribu bahasa dengan wajah tertunduk padam.

Beberapa kawan saya yang bekerja di perusahaan multinasional sering bercerita bahwa ada pembatasan penggunaan internet pada jam kantor. Biasanya koneksi internet hanya tersambung di luar jam kerja. Ketika ditugaskan ke kantor di LN, pembatasan tersebut tidak ada.

Stigma bahwa etos kerja rakyat indonesia rendah bukanlah karangan masyarakat global belaka. Mereka berpendapat berdasarkan pengalaman.

Saya sendiri tidak mengiyakan bahwa cap tersebut benar adanya. Rasanya, daripada menyalahkan pemerintah atau masyarakat global (pemberi cap), lebih baik kita sebagai memperbaiki diri kita. Tunjukkan kepada dunia bahwa SDM Indonesia juga memiliki etos kerja, kualitas, ketrampilan yang tidak kalah dengan SDM dari negara maju. Kita juga dapat bersaing dengan mereka.

Ehh, setelah diliat-liat, komen saya panjang bener euy. Maap jadi nge-blog disini he3x.

Btw, selamat datang di dunia per-blog-an. Semoga dapat mempertahankan produktivitas dan kualitas :D

AK Tontowi mengatakan...

oow.. , what a serious long comment!, thanks..

Dari ceritanya saya liat, ada nuansa hilangnya 'amanah' dalam kerjasama tsb. Ini memang menunjukkan professionalisme yg masih rendah.
Mengenai produktivitas rendah, itu bisa banyak aspek juga sebabnya, bisa dari bekal ketrampilan/teknik, mekanisme kerja, dsb.
Jadi problem nya sudah melebar. Sedang 'Etos' lebih terkait ke masalah 'attitude', atau spirit dari dalam jiwa. Sebaik dan setinggi apapun attitude & spirit seseorang, tapi kalo keterampilannya memang rendah, ya produktifitasnya bakal mentok/stag. cmiiw.

Paling tidak kita bisa bersepakat dalam satu hal : ada problem dalam competitivenes SDM dengan luar, dan itu tidak hanya masalah etos, bisa pendidikan, keterampilan, prosedur, bahkan mungkin menyangkut sisi hukum

Anonim mengatakan...

Cak,

Kalau saya jelas menyalahkan pengendali system, Cak!.
Karena jelas dia memiliki kekuasaan, (dan seharusnya) kemampuan menata segala komponen yang ada untuk membawa kita kepada hal yang dijanjikan. Itulah makanya orang yang 'mengerti' makna amanah mengendalikan system akan merasa berat memikul hal ini.
Mari kita lihat kasus simple:
Banjir besar karena hutan gundul...?? Apakah orang disekitar hutan yang membabat hutan??
hohohohoho... nanti dulu ...
monggo ditinjau situasi dan kondisi pendukung hal itu terjadi...
Televisi, majalah, koran serta berbagai media informasi menjejalkan kehidupan kemewahan...
sementara pada saat yang sama situasi ekonomi sedang sangat tidak menguntungkan.
Siapa yang bisa mengendalikan ini semua???

Kita sebagai komponen system memang harus berusaha sendiri jika tidak ingin terpuruk. Itu sebagai tanggung jawab kita sendiri melindungi diri kita sendiri dan keluarga.
Tapi saya tetap berhak menuntut mereka, karena mereka sudah memberanikan diri mengajukan diri sebagai pengendali system kita.

poorly I'm only a dreamer.

AK Tontowi mengatakan...

ooiy.. cak Wo hadir di blogku.. thanks ya..

Aku lebih sepakat pada sang guru, jangan2 kita terlalu sibuk menyalahkan pihak di luar kita.

Contoh kecil juga, budaya tilang dan 'titip' di jalan dan kantor2 administrasi. Kita tidak setuju, tapi ketika kita menghadapinya, dengan senyum di kulum, kita ikut menikmati 'kemudahannya' :)

Tapi aku setuju, tanggung jawab pemimpin jauh lebih besar.. (pastii!!)